Oktober ini Joko Widodo akan dilantik menjadi Presiden RI untuk periode kedua. Harapan membuncah terutama terkait kian sejahteranya kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Namun, alih-alih kepercayaan itu menebal, aura pesimisme malah menggelayut di sebagian besar masyarakat. Publik pesimis terhadap janji indah akselerasi pertumbuhan ekonomi cepat di era pemerintahan mantan Wali Kota Solo itu.
Masalahnya, Presiden Jokowi pada pemilu 2014 kadung berjanji akan membuat ekonomi Indonesia tumbuh hingga 7%. Namun, hingga akhir jabatannya bersama Wapres Jusuf Kalla, Indonesia belum pernah sekali pun berhasil mencapai target pertumbuhan ekonomi yang direncanakan.
Bila melihat data historis, keraguan itupun jadi bukan tanpa dasar. Lima tahun ke belakang, pertumbunan ekonomi Indonesia secara rata-rata tidak juga menyentuh angka 6% sebagaimana didengung-dengungkan.
Alasan yang paling sering didengar dari para pendukung presiden petahana adalah, lambatnya lari ekonomi itu karena warisan pemerintahan sebelumnya, terutama ketidakmampuan era itu dalam memanfaatkan lonjakan harga komoditas.
Sementara itu, para pendukung Jokowi beralasan, dengan harga komoditas yang anjlok saja, pertumbuhan ekonomi sudah mencapai seperti sekarang. Bagaimana bila sebaliknya? Begitu kira-kira argumen yang keluar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, sejak 2014 ekonomi nasional hanya mampu tumbuh di level 5,02%. Angka tersebut jauh berbeda dari asumsi dasar yang dipasang pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yakni 5,5%.
Kondisi hampir serupa terjadi pada pertumbuhan ekonomi nasional 2015 yang hanya tumbuh 4,88%. Angka tersebut turun drastis dan menjadi yang paling rendah sejak enam tahun sebelumnya. Pada 2016, ekonomi nasional ditargetkan sebesar 5,1% kembali tidak mampu direalisasi pemerintah. Pertumbuhan ekonomi pada 2016 hanya berada di level 5,02%.
Pemerintah juga tidak bisa merealisasi pertumbuhan ekonomi di level 5,2% pada 2017. Sepanjang 2017, perekonomian nasional hanya berada di level 5,07%. Terakhir, tahun 2018 pertumbuhan ekonomi berada di angka 5,17%. Angka ini pun lagi-lagi tidak sejalan dengan target yang ditetapkan dalam APBN 2018 sebesar 5,4%.
Jadi secara rata-rata, berdasarkan angka-angka tersebut di atas, boleh dibilang sejak 2014 ekonomi nasional hanya mampu tumbuh di level 5,02%. Angka tersebut jauh berbeda dari asumsi dasar yang dipasang pemerintah dalam APBN, yakni sebesar 5,5%.
Apa arti perbedaan 0,48% tersebut? Jika kemudian dihitung secara nominal menggunakan angka produk domestik bruto (PDB) nasional per 2019 yang mencapai Rp 15.412,75 triliun atau US$1,1 triliun, angka 0,48% itu bernilai Rp 74 triliun!
Seberapa besar angka tersebut? Tengok saja indikator pembandingnya berupa setoran deviden perusahaan-perusahaan milik negara atau BUMN 2018 yang mencapai Rp 45 triliun.
Apakah perekonomian Indonesia di era kedua Jokowi akan membaik? Pro-kontra bermunculan. Pesimisme datang dari lembaga kreditur multilateral IMF. Lembaga pemberi pinjaman itu merilis hasil asesmen terhadap perekonomian Indonesia, Kamis (1/8/2019). Evaluasi tertuang dalam laporan bertajuk Article IV Consultation 2019.
Secara keseluruhan, IMF menilai positif kinerja perekonomian Indonesia sepanjang 2018 di tengah tekanan eksternal, terutama arus keluar modal yang cukup besar. Pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% menurut Dewan Eksekutif IMF ditopang oleh permintaan domestik yang kuat sehingga mampu menutupi penurunan net ekspor.
Tingkat inflasi maupun inflasi inti yang cukup rendah sekitar 3% dinilai berhasil tercapai lantaran kenaikan harga bahan pangan berhasil ditekan, harga listrik dan sejumlah bahan bakar dipertahankan, dan didukung kebijakan makroekonomi yang ketat.
Hanya saja, defisit transaksi berjalan (CAD) melebar pada 2018 menjadi 2,98% terhadap PDB dibandingkan dengan 1,6% pada 2017. Pelebaran CAD akibat turunnya ekspor komoditas dan naiknya impor yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Aura lebih positif datang dari Bank Indonesia (BI). Lembaga moneter tertinggi itu optimistis ekonomi Indonesia pada 2020 tumbuh positif atau lebih baik. Pertumbuhan ekonomi diprediksi berkisar antara 5,1-5,5%.
“Kami melihat prospek ekonomi pada 2020 itu sangat baik. Kami melakukan preemptive action (tindakan pencegahan) menurunkan suku bunga untuk mengantisipasi pertumbuhan,” kata Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, di Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Destry menyampaikan, pada akhir 2019 pertumbuhan ekonomi berkisar 5,0-5,4%. Kondisi ini dinilai tetap bertahan pada angka 5%, di tengah ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina yang telah menyebabkan resesi.
“Untuk menghadapi kondisi ini kita akan mengoptimalkan domestik ekonomi yang kita miliki. Sebab, perang dagang akan terjadi berkepanjangan,” tuturnya.
Dia menuturkan, saat ini BI telah mengeluarkan kebijakan pelonggaran moneter dengan menurunkan tingkat suku bunga. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi perbankan untuk bisa menyalurkan kredit. Dengan likuiditas yang baik, perbankan bisa menekan suku bunga kredit.
Destry juga memprediksi inflasi masih akan terjaga di angka 3% plus-minus 1 selama 2020. Sebelumnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat mencapai 5,05% pada kuartal II/2019. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 5,27%.
Namun, optimisme yang diungkapkan Destry sepertinya hanya oase sementara. Fakta di lapangan menunjukkan kinerja perekonomian cenderung diliputi pesimisme.
Data terbaru BPS menunjukkan, pertumbuhan ekonomi pada sektor industri manufaktur terus melambat. Pada kuartal II/2019, angka pertumbuhan hanya 3,54% secara tahunan (year-on-year/YoY). Angka pertumbuhan tersebut merupakan yang paling kecil sejak kuartal II/2017 (dua tahun lalu) dan sudah melambat tiga kuartal berturut-turut. Alhasil, porsi industri manufaktur Indonesia terhadap PDB di kuartal II/2019 tinggal 19,52%, yang artinya masih melanjutkan tren pelemahan.
Sepanjang periode 2014-2018, porsi industri manufaktur telah berkurang sebesar 1,21 poin dari 21,07% menjadi 19,86%. Negara tetangga ASEAN seperti Malaysia dan Thailand juga mengalami hal yang sama. Porsi manufaktur dalam PDB mereka juga turun dalam periode yang sama, tetapi dengan laju yang lebih lambat, yaitu masing-masing sebesar 0,92 dan 0,82 poin.
Indonesia jelas tertinggal jauh dari Vietnam, negara dengan populasi 94 juta jiwa mampu menggenjot manufaktur sehingga porsi dalam PDB naik 2,83 poin dari 13,18% menjadi 16,02% sepanjang periode 2014-2018.
Data di atas pun dikonfirmasi oleh kondisi riil sektor tekstil nasional. Dikabarkan, dalam rentang waktu Januari hingga September 2019 sebanyak 188 perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) di Jawa Barat mengalami kebangkrutan. Akibatnya, lebih dari 68 ribu pegawai terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Perusahaan-perusahaan TPT tersebut diklaim akan pindah ke Provinsi Jawa Tengah.
Anggota Tim Akselerasi Jabar Juara untuk Bidang Ketenagakerjaan Disnakertrans Provinsi Jawa Barat, Hemasari Dharmabumi, mengatakan bahwa bangkrutnya maupun berpindahnya perusahaan TPT yang mayoritas berada di Kabupaten Bandung itu akibat dari dibukanya keran impor tekstil dari Cina.
“Selain itu, khususnya di Majalaya, mereka bangkrut karena mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi tekstil. Jadi di Majalaya itu industrinya sudah tua, dan pada 2019 masih ada alat tenun yang dipakai oleh pabrik garmen yang bukan mesin,” kata Hema di Bandung, Jumat (4/9/2019).
Menurut dia, Disnakertrans Provinsi Jabar telah melakukan berbagai upaya agar keberadaan pabrik tekstil yang ada saat ini tidak gulung tikar. Upaya tersebut misalnya kebijakan pengupahan. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada hasil maupun perkembangan yang signifikan.
Di sisi lain, sektor tekstil Jabar dikenal sebagai salah satu penyumbang tertinggi angka ekspor nasional. Termasuk menjadi salah satu sektor industri dengan konsumsi listrik tertinggi di Pulau Jawa.
Jadi, jika sektor ini harus terpuruk, pukulan berantai jelas tak hanya terkait masalah ketenagakerjaan belaka. Bisa jauh lebih buruk dari itu. Pertanyaannya kemudian, sudahkah ini menjadi perhatian serius dari pemerintah?