Protes massal tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang dimulai lebih dari dua bulan lalu, belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Malah sebaliknya, keributan dan kerusuhan yang oleh para demonstran semakin meluas, meskipun pemerintah Hong Kong telah mengambil langkah positif dengan menangguhkan RUU tersebut.
Di jalanan, petugas kepolisian yang terus berupaya menjaga keamanan dan ketertiban, berhadapan langsung dengan para demonstran yang anarkis minggu demi minggu. Ironisnya, “pertempuran” tidak hanya terjadi di dunia nyata. Di dunia online, “pertempuran” juga dilakukan dengan menggunakan satu senjata utama, yaitu, informasi yang salah. Berita palsu telah secara nyata mengancam persatuan dan keselamatan warga Hong Kong.
Sejauh ini, Hong Kong belum memiliki regulasi yang tepat untuk mengantisipasi beredarnya berita palsu yang secara cepat menyebar lewat media sosial. Padahal, berita palsu lebih berbahaya dari kontak fisik secara langsung.
Seperti pepatah lama yang mengatakan, “pena lebih tajam daripada sebilah pedang”, jesalahan informasi yang sengaja dilakukan terus-menerus, dapat memengaruhi psikologis manusia. Informasi yang salah pada akhirnya akan “mencuci otak” pembacanya untuk kemudian percaya penuh tanpa menelusuri kebenarannya.
India telah menjadi saksi berbahayanya berita keliru yang tak jelas kebenarannya. Dipicu oleh desas-desus penculikan anak di WhatsApp, serentetan pembunuhan massa terjadi pada 2018. Dalam beberapa kasus, para korban digantung oleh kerumunan hampir 3.000 orang. Di Myanmar, informasi yang salah telah mendorong terjadinya dugaan genosida.
Masato Kajimoto, seorang profesor jurnalisme di Universitas Hong Kong, mengatakan, “Kita semua memiliki kecenderungan kognitif untuk mempercayai apa yang ingin kita percayai dan mengabaikan apa yang tidak ingin kita percayai, tanpa bukti yang menunjukkan apa yang benar dan apa yang tidak.” Berita-berita palsu yang beredar dan cenderung mendiskreditkan pemerintah Hong Kong telah membuat ketakutan dan paranoia bagi masyarakatnya.
Tentu kita masih ingat dalam satu tweet viral, seorang pengguna yang tidak terverifikasi memperingatkan masyarakat Hong Kong bahwa militer Cina akan melintasi perbatasan Hong Kong-Shenzhen untuk melakukan penumpasan terhadap rakyat Hong Kong seperti tragedi Lapangan Tiananmen, dengan video tank yang menyertainya di stasiun kereta. Tanda stasiun dalam video tersebut bertuliskan “Longyan”.
Faktanya, tidak ada stasiun Longyan di Shenzhen. Longyan berada di sebuah kota di Provinsi Fujian, Cina, ratusan mil jauhnya dari perbatasan Hong Kong. Dan saat itu, banyak sekali anggota masyarakat Hong Kong yang mempercayai berita palsu tersebut. Masyarakat global pun ikut “terjebak” dalam ilusi itu terbukti video itu telah ditonton lebih dari 848.000 kali dan di-retweet lebih dari 8.000 kali.
Tweet tidak bertanggung jawab itu menimbulkan ketakutan yang kuat dan telah mendasari krisis politik yang sedang berlangsung, dan menimbulkan premis bahwa “Beijing melanggar kebebasan otonomi Hong Kong”. Sebagaimana kita ketahui, Hong Kong menikmati kebebasan berbicara, pers, dan berkumpul yang dilindungi, sebagaimana ditetapkan ketika Inggris mengembalikan kota itu ke Cina dalam model pemerintahan yang disebut “satu negara, dua sistem.” Dan untuk mengingatkan kembali, hadirnya RUU Ekstradisi adalah untuk menegakkan hukum serta menegaskan bahwa tidak ada yang kebal hukum.
Sekarang para pemrotes yang mayoritas adalah generasi muda, terus menabur benih ketidakpercayaan yang tersisa, terutama terhadap pemerintah, yang dituduh pemrotes tidak bertindak dan tunduk pada kehendak Beijing.
AS Ikut Campur Tangan?
Peta konspirasi yang rumit telah terjadi di Hong Kong. Campur tangan Amerika Serikat (AS) dalam protes diduga adalah asal mulanya. Agen-agen pemerintah AS telah diduga mendanai para pengunjuk rasa, foto-foto pria Kaukasia dicurigai sebagai agen rahasia CIA yang bertanggung jawab untuk mengatur kerusuhan.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, mengatakan, “Seperti yang Anda semua tahu, mereka entah bagaimana adalah pekerjaan (bekerja untuk) AS.”
Sementara itu, menurut apa yang disebut laporan eksklusif yang dirilis Reuters, Jumat, Carrie Lam, Kepala Eksekutif Wilayah Administratif Khusus Hong Kong (HKSAR), mengajukan proposal ke Beijing pada awal musim panas ini dan meminta “5 tuntutan utama” dari para pengunjuk rasa Hong Kong ditanggapi dengan serius, tetapi ditolak.
Sejak itu diketahui bahwa berita Reuters itu palsu. Lam bermaksud menciptakan ilusi, menjalin rumor dengan acara publik dalam upaya menyesatkan opini. Kisah ini secara keliru merujuk pada simposium bersama antara Kantor Penghubung Pemerintah Pusat Rakyat dan SAR Hong Kong pada 7 Agustus dan memanfaatkan pemerintah HKSAR dengan retorikanya untuk menambahkan rona dan warna pada cerita palsu sehingga mengakibatkan pertarungan opini publik yang memalukan.
Reuters mengakui mereka tidak melihat proposal Lam. Tindakan semacam itu telah membuat salah satu alasan para demonstran melakukan kekerasan di jalan-jalan Hong Kong. Diyakini bahwa sumber yang tidak disebutkan namanya seperti yang diklaim Reuters adalah konspirator berita palsu.
Berita palsu tersebut tepat pada saat terjadi kritis di Hong Kong dan ditujukan untuk menebarkan perselisihan antara pemerintah pusat Cina dan HKSAR. Sejak protes dimulai, pemerintah HK dan kepolisian kota telah melakukan semua upaya untuk menjaga ketertiban sosial. Namun, kekuatan eksternal bertekad mengguncang polisi Hong Kong dan menyabotase hubungan baik antara penduduk Hong Kong dan Cina daratan sudah berdampak kuat.
Fakta bahwa cerita palsu dirilis pada hari Jumat menunjukkan bagaimana peristiwa di Hong Kong telah berubah menjadi pertarungan opini publik. Ketika krisis meletus di negara berkembang, beberapa agen media Barat seringkali memainkan peran memalukan dengan memanfaatkan pengaruh komunikasinya.
Laporan Reuters pada hari Jumat adalah upaya untuk mengganggu urusan Hong Kong. Apa yang disebut Reuters sebagai laporan eksklusif, benar-benar merupakan upaya jahat untuk menggambarkan secara keliru situasi di HK dan menghancurkan upaya antikekerasan dan menjaga perdamaian.
Ketika protes dimulai dan terus berlangsung, AS dan Inggris memainkan peran kuat mendukung para demonstran. Kedua negara telah menyulut emosi yang tidak rasional dan memanipulasi pengunjuk rasa lokal seperti boneka untuk campur tangan dengan urusan Hong Kong.
Laporan yang tidak objektif dari kantor berita Barat tampaknya sengaja dibuat untuk membuat perubahan maksimum dengan biaya minimum dengan membentuk opini publik di saat-saat kritis. Tindakan Reuters ini telah sangat menyimpang dari etika jurnalisme yang harus diikuti oleh semua kantor berita.
Kecurigaan telah muncul, berita menyesatkan yang telah dirilis Reuters diduga adalah manuver operasi Klandestein oleh badan-badan intelijen. Reuters bertindak sebagai kaki tangan mereka.
Satu kondisi yang tampak jelas dalam masyarakat HK yang kini sudah terpecah belah adalah, informasi yang salah dan polarisasi saling membentuk garis yang terhubung satu sama lain sehingga menghasilkan lingkaran setan. Informasi yang salah itu dapat disimpulkan sebagai “manifestasi dari masyarakat yang telah terpolarisasi”. Protes Hong Kong telah membuat orang tua menentang anak-anak, teman melawan teman, pemuda melawan pemerintah, dan warga sipil melawan polisi.
Kesadaran masyarakat, literasi media, dan mengajari orang-orang cara menemukan dan menghindari berita palsu, kini sebaiknya menjadi prioritas utama bagi seluruh elemen kehidupan di Hong Kong. Pengecekan silang dengan media lain dan waspada terhadap berita sensasional, dapat dilakukan sebagai langkah pertama.