Warga Jawa Tengah (Jateng), khususnya Cilacap, diteror kasus bom yang belakangan diketahui palsu. Dalam kardus yang ditemukan di trotoar dekat Rumah Sakit Islam (RSI) Fatimah itu ternyata tidak terdapat bahan peledak.
Temuan ini tentu mengagetkan masyarakat. Namun bila membandingkan dengan kasus-kasus peledakan bom dahsyat sepanjang tahun 2018, jelas temuan benda mencurigakan ini bukanlah apa-apa. Namun, kejadian yang bertepatan dengan hari pertama 2019 itu ditafsirkan banyak pihak sebagai sebuah pesan tersendiri. Seolah, di tahun yang baru sekarang ini, Indonesia tak lepas dari teror bom.
Apalagi, temuan benda itu berada di ruang publik, tepatnya di depan rumah sakit. Menyadari potensi psikologis yang mungkin timbul, polisi pun bergerak cepat melakukan pencarian pemilik bom palsu yang diletakkan di trotoar itu. Penyidik juga mendalami unsur pidana terkait temuan tersebut.
Sebagaimana diketahui, pelapor menemukan benda dalam wadah kardus dibungkus keresek berwarna kuning yang tergeletak di seberang jalan depan pintu masuk RSI Fatimah, yang bersebelahan dengan Mapolres Cilacap. Tim Gegana Polda Jateng yang tiba di lokasi kejadian, kemudian menghancurkan bom palsu itu.
Keberadaan benda bukan bom itu pun kembali ditegaskan oleh Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo. Ia menyatakan, berdasar hasil pemeriksaan, bisa dipastikan bahwa benda yang ditemukan pada pukul 03.00 WIB itu bukanlah bom.
“Setelah diperiksa Tim Gegana Polda Jateng, isinya paku, pecahan genting, pasir hitam, kabel, dan timer [pengatur waktu]. Tidak ditemukan unsur bahan peledak,” kata Dedi di kantornya, Jakarta, Rabu (2/1/2019).
Menurut Dedi, kabel pada benda itu tidak tersambung dengan alat timer. Selain itu, tidak ada kabel detonator. Paku-paku pada benda itu, kata Dedi, juga masih baru.
Bom asli selalu memuat bahan mesiu yang berasal dari black powder atau bubuk hitam. “Yang ini isinya tanah yang menyerupai black powder dan tumbukan genting,” ucap Dedi.
Di dalam kardus itu juga terdapat tiga paralon sepanjang 33 cm dengan diameter 1,5 inci, dua helai kabel warna merah dan biru sepanjang 10 cm, satu buah baterai AA, 44 buah paku ukuran 5 cm, dua buah jam weker. Kardus juga berisi campuran pasir dan genteng, lakban, dan keresek.
Sejauh ini polisi melakukan pencarian melalui pemeriksaan sidik jari yang menempel di benda mencurigakan itu, termasuk menyisir lokasi untuk mendapatkan bukti lain. Polisi pun menyisir tempat kejadian perkara (TKP).
Pihak berwajib menggunakan dukungan teknologi yang ada seperti CCTV di sekitar TKP, juga memeriksa saksi-saksi yang berada di sekitar lokasi beberapa saat sebelum penemuan benda tersebut. Dari bahan baku yang digunakan menunjukkan sebagai sebuah benda yang bisa dirakit cepat.
Yang menarik, secara logis teror bom palsu Cilacap ini kental sekali dengan nuansa penggiringan suasana mencekam jelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) 2019. Jika membandingkan dengan teror bom yang langsung terkait dengan aksi teror, memang terdapat beberapa kesamaan. Contohnya bom di Mako Brimob, Jawa Barat, 10 Mei 2018.
Ledakan bom di Mako Brimob, yang walaupun tak memakan korban jiwa, diakui polisi merupakan bom rakitan yang berasal dari penjara. Lima polisi yang gugur dalam menjalankan tugas pun ditengarai bukanlah akibat dari ledakan mematikan. Ini berarti bom yang dirakit secara sederhana itu sebagian besar menggunakan bahan baku sederhana yang mudah ditemukan sehari-hari.
Apakah ini membuka jalan bagi kemungkinan adanya hubungan antara pelaku teror bom palsu Cilacap dengan teroris di Mako Brimob? Kemungkinan tetap saja bisa muncul. Namun, bila melihat kemungkinan motif, peristiwa Mako Brimob cenderung kental dengan nuansa perlawanan sampai mati yang memang ditunjukkan untuk melawan petugas. Bukan untuk menciptakan suasana teror yang ruang lingkup publiknya lebih luas.
Hampir serupa dengan rentetan bom yang terjadi di gereja Surabaya, 13 Mei 2018. Dimulai dari bom bunuh diri yang dilakukan pada pukul 07.15 WIB di Gereja Santa Maria, menyusul di Gereja Pantekosta sekitar pukul 07.45 WIB. Bom dibawa pelaku dengan menggunakan mobil yang sengaja menabrak pagar gereja. Pelaku bernama Dita Soepriyanto, pentolan Jamaah Ansarud Daulah (JAD) Jawa Timur, meninggal di tempat.
Bom ketiga di Gereja Kristen Indonesia (GKI) merupakan rentetan bom terakhir, meledak pukul 08.15 WIB. Pelaku bom GKI diketahui merupakan seorang ibu yang membawa dua anaknya yang mencoba masuk ke area gereja.
Yang menarik perhatian publik pada kasus bom ini adalah, bagaimana mungkin seorang ibu mengajak anaknya untuk melakukan bunuh diri? Selain itu, jika pelaku menargetkan peserta acara keagamaan di gereja, kenapa pelaku malah menggunakan busana muslimah, yang jelas-jelas akan membatasi langkah mereka?
Berkaca pada peristiwa tersebut, yang menonjol adalah sentimen keagamaan yang kental. Namun, banyak pihak meyakini bahwa kedua bom itu bertujuan menyerang institusi Polri dengan secara tidak langsung. Seolah ingin menunjukkan ketidakbecusan pengamanan yang digalang oleh Polri, terutama dalam melindungi umat minoritas di Indonesia.
Mencermati kedua peristiwa teror bom asli dan palsu, Surabaya dan Cilacap, sangat kentara menargetkan pihak keamanan. Bukan secara personel, melainkan pada upaya menanamkan keraguan bahwa Polri tak siap sepenuhnya memberi rasa aman kepada masyarakat. Apalagi Kota Cilacap adalah rumah berbagai objek vital nasional, mulai dari PLTU dengan kapasitas ribuan megawatt, manufaktur kimia, hingga kilang minyak.
Tak pelak, kasus teror bom palsu Cilacap jadi pertaruhan Polri, untuk mengungkap motif sebenarnya dari penyebaran teror ketakutan itu. Taruhannya sungguh besar, yakni rasa aman menjelang perhelatan pemilu yang menjadi jaminan bagi para pelaku ekonomi memutar roda usahanya.